Minggu, 13 Januari 2013


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN SEBELUMNYA

2.1 Konsep Dasar Asfiksia Neonatorum
 2.1.1 Definisi Asfiksia Neonatorum
Bayi asfiksia neonatorum adalah keadaan di mana bayi yang baru dilahirkan tidak bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan (Mochtar, 1999;427).
 Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur dalam 1 menit setelah lahir (Mansjoer, 2000;503).
Asfiksia berarti hipoksia progresif, penimbunan CO2 dan asidosis (Saifuddin, 2005;317).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir (Winkjosastro, 2007;709).
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur (DepKes RI, Revisi 2007;107).


2.1.2 Etiologi Asfiksia Neonatorum
2.1.2.1 Etiologi Asfiksia dalam Kehamilan
Menurut winkjosastro (2007;709-710), etiologi asfiksia dalam kehamilan adalah :
Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran gas transport O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat ganguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama kehamilan, atau secara mendadak karena hal - hal yang diderita ibu dalam persalinan.
Gangguan menahun dalam kehamilan dapat berupa gizi ibu yang buruk, penyakit menahun seperti anemia, hipertensi, jantung dan lain - lain. Faktor - faktor yang timbul dalam persalinan yang bersifat mendadak yaitu faktor janin berupa gangguan aliran darah dalam tali pusat karena tekanan tali pusat, depresi pernapasan karena obat - obatan anesthesia/analgetika yang diberikan ke ibu, perdarahan intrakranial, kelainan bawaan seperti hernia diafragmatika, atresia saluran pernapasan, hipoplasia paru - paru dan lain - lain. Sedangkan faktor dari pihak ibu adalah gangguan his misalnya hipertonia dan tetani, hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan misalnya pada plasenta previa, hipertensi pada eklamsia, dan ganguan mendadak pada plasenta seperti solusio plasenta.



Menurut Nelson (2000;581) Hipoksia janin dapat merupakan akibat dari :
1.      Oksigenisasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama anastesi, penyakit jantung sianosis, gagal pernapasan, atau keracunan karbon monoksida,
2.      Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi, yang dapat merupakan komplikasi anastesi spinal atau akibat kompresi vena cava dan aorta pada uterus gravida,
3.      Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta akibat adanya tetani uterus, yang disebabkan oleh pemberian oksitosin berlebih–lebihan,
4.      Pemisahan plasenta prematur,
5.      Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat adanya kompresi atau pembentukan simpul pada tali pusat,
6.      Vasokonstriksi pembuluh darah uterus oleh kokain , dan
7.      Insufisiensi plasenta karena berbagai sebab termasuk toksemia dan pasca–maturitas.

Insufisiensi plasenta seringkali tetap tidak terdeteksi pada penilaian klinis. Janin yang mengalami hipoksik kronis dapat mengalami retardasi pertumbuhan intrauterine tanpa tanda–tanda tradisional gawat janin (misalnya , bradikardia). Velosimetri bentuk gelombang umbilicus melalui Doppler memperlihatkan kenaikan tahanan vaskular janin dan kordosentisis memperlihatkan hipoksia janin dapat mengidentifikasi bayi hipoksik kronis. Selanjutnya, kontraksi uterus mengurangi oksigenisasi umbililikalis, menekan kardiovaskular janin dan sistem saraf pusat, menghasilkan skor Apgar rendah dan hipoksia pasca – lahir dalam kamar bersalin (Nelson, 2000;582)
Hipoksia yang terjadi sesudah lahir menurut Nelson (2000;582), dapat merupakan akibat dari :
1.      Anemia cukup berat, yang sampai menurunkan oksigen darah ke tingkat krisis, akibat perdarahan berat atau penyakit hemolitik,
2.      Syok cukup berat yang, yang sampai mengganggu pengangkutan oksigen ke sel–sel vital akibat perdarahan adrenal, perdarahan intraventrikular, infeksi yang berlebihan, atau kehilangan darah massif,
3.      Kurangnya saturasi oksigen arteria disebabkan gagal terjadinya pernapasan yang adekuat pada pasca lahir akibat cacat, nekrosis atau jejas pada otak, dan
4.       Kegagalan oksigenisasi sejumlah darah yang adekuat akibat adanya bentuk penyakit jantung kongenital sianosis atau defisiensi fungsi paru yang berat.

2.1.2.2 Etiologi Asfiksia dalam Persalinan
Bebarapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkukasi darah utero–plasenter sehingga pasokan bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi didalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir. Beberapa faktor tertentu diketahui menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya faktor ibu, tali pusat, dan bayi berikut ini :
Faktor ibu ;
1.      Pre – eklampsia dan eklampsia
2.      Perdarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
3.      Partus lama atau partus macet
4.      Demam selama persalinan
5.      Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
6.      Kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
(DepKes RI, Revisi 2007;108).
Faktor yang menyebabkan penurunan sirkulasi utero–plasenter yang berakibatnya menurunnya pasokan oksigen ke bayi sehingga dapat menyebabkan asfiksia bayi baru lahir.
Faktor tali pusat :
1.      Lilitan tali pusat
2.      Tali pusat pendek
3.      Simpul tali pusat
4.      Prolapsus tali pusat
 (DepKes RI, Revisi 2007;108).
Adakalanya asfiksia terjadi tanpa didahului gejala dan tanda gawat janin, umumnya hal ini disebabkan oleh faktor berikut ini :
Faktor bayi :
1.      Bayi prematur ( sebelum 37 minggu kehamilan )
2.      Persalinan dengan tindakan ( sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep )
3.      Kelainan bawaan ( kongenital )
4.      Air ketuban bercampur mekonium ( warna kehijauan )
(DepKes RI, Revisi 2007;108).
                                   
            Menurut Mochtar (1998;427) penyebab asfiksia yang terjadi dalam persalinan dapat disebabkan oleh :
1.      Kekurangan O2, misalnya pada ;
a.       Partus lama (CPD, serviks kaku, dan atonia / inersia uteri
b.      Ruptura uteri yang membakat ; kontraksi uterus yang terus – menerus mengganggu sirkulasi darah ke plasenta
c.       Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta
d.      Prolapsus ; tali pusat akan tertekan antara kepala dan panggul
e.       Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya
f.       Perdarahan banyak, misalnya pada plasenta previa dan solusio plasenta
g.      Kalau plasenta sudah tua dapat terjadi postmaturitas (serotinus), disfungsi uri
2.      Paralisis pusat pernapasan, akibat trauma dari luar seperti pada tindakan forceps, atau trauma dari dalam seperti akibat obat bius

2.1.3 Tanda dan Gejala Asfiksia Neonatorum
            Segera setelah lahir , lakukan penilaian segera pada bayi untuk menilai apakah bayi memerlukan tindakan segera yang diperlukan. Menurut DepKes RI (Revisi 2007), tanda dan gejala dalam penilaian segera dapat dilihat dari :
1.      Ada atau tidaknya air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan) pada presentasi kepala.
2.      Bayi menangis atau tidak, bernapas spontan dan teratur.
3.      Bayi lemas atau lunglai.
4.      Bayi tidak bernapas atau bernapas megap–megap.
5.      Warna kulit kebiruan.
6.      Kejang.
7.      Penurunan kesadaran.

            2.1.4 Patofisiologi Asfiksia Neonatorum
            Menurut DepKes RI (Revisi 2007;107), patofisiologi asfiksia neonatorum adalah :
Bebarapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkukasi darah utero – plasenter sehingga pasokan bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi didalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir.



Menurut Winkjosastro (2007;709-710), patofisiologi asfiksia neonatorum adalah :
Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran gas transport O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat ganguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama kehamilan, atau secara mendadak karena hal - hal yang diderita ibu dalam persalinan.
Perubahan pertukaran gas dan transpor oksigen selama kehamilan dan persalinan akan mempengaruhi oksigenisasi sel – sel tubuh yang selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan fungsi sel. Gangguan fungsi sel ini dapat ringan serta sementara atau menetap, tergantung dari perubahan homeostatis yang terdapat pada janin. Perubahan homeostatis ini berhubungan erat dengan beratnya dan lamanya anoksia atau hipoksia yang diderita.
Pada tingkat permulaan gangguan pertukaran gas dan transpor O­2 mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik. Bila gangguan berlanjut, dalam tubuh terjadi metabolismus anerobik. Proses ini berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga sumber – sumber glikogen tubuh terutama dalam jantung dan hati berkurang. Asam – asam organik yang dihasilkan akibat metabolismus ini akan menyebabkan terjadinya asidosis metabolik.
Pada tingkat lebih lanjut terjadi gangguan kardiovaskuler yang disebabkan oleh kerja jantung yang terganggu akibat dipakainya simpanan glikogen dalam jaringan jantung, asidosis metabolik yang mengganggu fungsi sel – sel jantung, dan gangguan peredaran darah ke paru – paru karena tetap tingginya pulmonary vascular resistance. Asidosis dan gangguan kardiovaskular ini mempunyai akibat buruk terhadap sel – sel otak dan dapat menyebabkan kematian anak atau timbulnya gejala – gejala lanjut pada anak yang hidup. Dalam garis besar perubahan – perubahan yang terjadi pada asfiksia adalah menurunnya tekanan O2 arterial, meningkatnya tekanan metabolismus anerobik, dan terjadinya perubahan fungsi sistem kardiovaskular.

Menurut Nelson (2000;582-583), patofisiologi asfiksia neonatorum adalah :
Pada persalinan, adanya cairan amnion yang bercampur mekonium dan berwarna kuning, merupakan bukti bahwa telah terjadi kegawatan janin. Pada saat lahir bayi ini seringkali mengalami depresi, dan gagal bernapas secara spontan. Selama beberapa jam berikutnya mereka dapat hipotonia, atau berubah dari hipotonia ke hipertonia ekstrim, atau tonusnya dapat tampak normal. Pucat, sianosis, apnea, frekuensi jantung lambat dan  tidak memberikan respons terhadap rangsangan juga merupakan tanda – tanda ensefalopati hipoksik – iskemik. Edema otak dapat timbul pada 24 jam berikutnya dan mengakibatkan depresi batang otak yang berat. Selama waktu ini dapat terjadi aktivitas kejang yang mungkin berat. Walaupun sebagian besar kejang sering merupakan akibat dari ensefalopati hipoksik – iskemik, kejang pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia dapat juga disebabkan hipokalsemia dan hipoglikemia.
Disamping disfungsi sistem syaraf pusat, gagal jantung kongestif dan syok kardiogenik, hipertensi pulmonal metetap (sirkulasi janin persisten), sindrom kegawatan napas, perforasi saluran pencernaan, hematuria dan nekrosis tubular akut juga menyertai asfiksia. Hipoksia sesudah persalinan terjadi akibat gagalnya pernapasan dan insufiensi sirkulasi.
                                                                                                         


2.1.5 Klasifikasi Asfiksia Neonatorum
            Menurut Saifuddin (2005;347) asfiksia dapat dibagi menjadi 2 periode :
1.      Pada bayi yang mengalami kekurangan oksigen akan terjadi pernapasan yang cepat dalam periode yang singkat. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan napas akan berhenti, denyut jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuskular berkurang secara berangsur – angsur dan bayi memasuki periode apnu yang dikenal dengan apnu primer. Perlu diketahui bahwa kondisi pernapasan megap – megap dan tonus otot yang turun juga dapat terjadi akibat obat – obat yang diberikan kepada ibunya. Biasanya pemberian perangsangan dan oksigen selama periode apnue primer dapat merangsang terjadinya pernapasan spontan.
2.      Apabila asfiksia berlanjut, bayi akan menunjukkan pernapasan megap – megap yang dalam, denyut jantung terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas (flaccid). Pernapasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apnu yang disebut apnu sekunder. Selama apnu sekunder ini, denyut jantung, tekanan darah dan kadar oksigen di dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukan upaya pernapasan secara spontan. Kematian akan terjadi kecuali apabila resusitasi dengan pernapasan buatan dan pemberian oksigen dimulai dengan segera.




            Menurut Mansjoer (2000;502) terdapat klasifikasi asfiksia menurut Apgar score :
1.      Asfiksia Berat (nilai APGAR 0-3)
2.      Asfiksia ringan (nilai APGAR 4–6)

2.1.6 Prognosis Asfiksia Neonatorum
Menurut Mansjoer (2000;509), prognosis asfiksia neonatorum adalah :
            Pada pasca penatalaksanaan resusitasi bayi baru lahir, kemungkinan menjadi faktor resiko untuk terjadinya sepsis neonatorum pada bayi. Gejala klinis pada saluran napas seperti terjadinya apnu, dispnu, takipnu, retraksi, napas cuping hidung, merintih, dan sianosis.

            Menurut Nelson (2000;583), prognosis asfiksia neonatorum adalah :
            Hasil akhir asfiksia bergantung pada apakah komplikasi metabolik dan kardiopulmonalnya (hipoksia, hipoglikemia, syok) dapat diobati, pada umur kehamilan (hasil akhir paling jelek jika bayi preterm), dan pada tingkat keparahan ensefalopati hipoksik-iskemik. Ensefalopati berat (stadium 3), ditandai dengan koma flasid, apnea, refleks okulosefalik tidak ada, kejang refrakter, dan pengurangan penipisan korteks yang nyata pada CT scan, dihubungkan dengan prognosis yang jelek. Skor Apgar rendah pada menit ke – 20, tidak ada respirasi spontan pada usia 20 menit, dan menetapnya tanda–tanda kelainan neurologis pada usia 2 minggu juga meramalkan kematian atau adanya defisit kognitif dan motorik berat.
            Kematian otak pasca–ensefalopati hipoksik–iskemik neonatus didiagnosis dengan penemuan–penemuan klinis, yaitu koma yang tidak responsif terhadap rangsangan nyeri, pendengaran atau penglihatan, apnea dengan kenaikan PCO2 dari 40 sampai lebih dari 60 mmHg,  dan refleks batang otak tidak ada (pupil, okulosefalik, okulovestibular, kornea, menyumbat, menghisap). Keadaan ini harus terjadi bila tidak ada hipotermia, hipotensi, dan kenaikan kadar obat – obatan depresan (misalnya, fenobarbital). Tidak adanya aliran darah serebral pada scan radionuklid dan aktivitas listrik pada EEG (elektroserebral tenang) diamati secara tidak tetap pada neonatus yang mengalami kematian otak secara klinis. Menetapnya kriteria klinis selama 2 hari pada bayi cukup bulan dan 3 hari pada bayi preterm meramalkan kematian otak pada kebanyakan bayi baru lahir yang mengalami asfiksia.

2.1.7 Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum
Menurut Saifuddin (2005;349), penatalaksanaan asfiksia neonatorum adalah :
            Bayi baru lahir dalam apnu primer dapat memulai pola pernapasan biasa, walaupun mungkin tidak teratur dan mungkin tidak efektif, tanpa intervensi khusus. Bayi baru lahir dalam apnu sekunder tidak akan bernapas sendiri. Pernapasan buatan atau tindakan ventilasi dengan tekanan positif (VTP) dan oksigen diperlukan untuk membantu bayi memulai pernapasan pada bayi baru lahir dengan apnu sekunder.
                        Menganggap bahwa seorang bayi menderita apnu primer dan memberikan stimulasi yang kurang efektif hanya akan memperlambat pemberian oksigen dan meningkatkan resiko kerusakan otak. Sangat penting untuk disadari bahwa pada bayi yang mengalami apnu sekunder, semakin lama kita menunda upaya pernapasan buatan, semakin lama bayi memulai pernapasan spontan. Penundaan dalam melakukan upaya pernapasan buatan, walaupun singkat, dapat berakibat keterlambatan pernapasan yang spontan dan teratur. Perhatikanlah bahwa semakin lama bayi berada dalam apnu sekunder, semakin besar kemungkinan terjadinya kerusakan otak.
            Penyebab apa pun yang merupakan latar belakang depresi ini, segera sesudah tali pusat dijepit, bayi yang mengalami depresi dan tidak mampu melalui pernapasan spontan yang memadai akan mengalami hipoksia yang semakin berat dan secara progresif menjadi asfiksia. Resusitasi yang efektif dapat merangsang pernapasan awal dan mencegah asfiksia progresif. Resusitasi bertujuan memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat – alat vital  lainnya.

            Pada tindakan resusitasi bayi baru lahir menurut Saifuddin (2005;350) mengikuti tahap – tahap yang dikenal sebagai ABC resusitasi :
                  A : Memastikan saluran napas terbuka
-          Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi, bahu diganjal.
-          Menghisap mulut, hidung, dan kadang – kadang trakea.
-          Bila perlu, masukkan pipa endotrakeal (pipa ET) untuk memastikan saluran pernapasan terbuka. 

                  B : Memulai pernapasan
-          Memakai rangsangan  taktil untuk memulai pernapasan.
-          Memakai VTP, bila perlu seperti sungkup dan balon, pipa ET dan balon, atau mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).
                  C : Mempertahankan sirkulasi darah
-          Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi dada atau pengobatan.

                        Langkah – langkah resisutasi menurut Lengkong (2007;8 – 11):
1.      Memastikan saluran napas terbuka
a.       Letakkan bayi dalam posisi telentang atau miring dengan leher agak tengadah (ekstensi)
b.      Keringkan tubuh dan mulut bayi dengan handuk kering, kecuali pada bayi dengan meconium staining
c.       Bila perlu letakkan lipatan handuk atau selimut di belakang bahu bayi
d.      Hisap lendir mulai dari mulut kemudian hidung bayi sampai dengan orofaring dan bila diperlukan sampai  trakea.

e.       Bila perlu masukkan pipa endotrakeal untuk memastikan saluran napas terbuka.

2.      Memulai pernapasan
a.       Lakukan rangsangan taktil dengan menepuk telapak kaki, menyentil tumit atau menggosok punggung / dada bayi
b.      Nilai pernapasan, denyut jantung dan warna kulit berturut-turut:
1)      Napas :
a)      Apnu
b)      Pernapasan normal
2)      Frekuensi denyut jantung :
a)      > 100 x / menit
b)      < 100 x / menit
3)      Warna kulit : 
a)      Kemerahan ( tanpa sianosis )
b)      Sianosis perifer
c)      Sianosis sentral
c.       Berikan ventilasi tekanan positip bila bayi apnu, megap - megap, frekuensi denyut jantung < 100 x / menit.
d.      Bila perlu memakai sungkup atau balon.
e.       Bila perlu pasang pipa endotrakeal dan balon pernapasan.
f.       Berikan O2 100% dengan kecepatan 5 kali / menit sebaiknya menggunakan balon mengembang sendiri reservoir oksigen.
g.      Lakukan ventilasi selama 15 – 30 detik dengan frekuensi 40 – 60 napas/menit.
h.      Periksa frekuensi Denyut Jantung :
1)      Denyut Jantung > 100x / menit, napas spontan à hentikan VTP, bila tidak napas spontan, VTP lanjut
2)      Denyut Jantung 60 – 100 x / menit dan bertambah à lanjutkan VTP
3)      Denyut Jantung 60 – 100 x / menit dan tidak bertambah à lanjutkan VTP, bila  Denyut Jantung < 80x / menit à lakukan pijat jantung / kompresi dada
4)      Denyut Jantung  < 60 x / menit à lakukan ventilasi dan segera lakukan pijat jantung / kompresi dada.

3.      Mempertahankan sirkulasi darah
                              Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara:
a.       Pijat Jantung / Kompresi dada
a)      Merupakan indikasi bila sesudah 15 - 30 detik melakukan VTP dengan O2 100% frekuensi denyut jantung < 60x / menit atau 60-80 x/menit dan tidak bertambah.
b)      Bila frekuensi denyut jantung sama atau sudah lebih dari 80 x / menit tindakan kompresi dada dihentikan
c)      Teknik penekanan ada 2 cara : Teknik Ibu Jari atau  Teknik 2 Jari. Lokasi penekanan pada 1 / 3  bawah sternum. Penekanan dada 3x dalam waktu 1,5 detik, selanjutnya dilakukan pemberian ventilasi 1x  selama 0, 5 detik  (rasio 3 : 1). Setelah 30 detik melakukan tindakan kompresi dada, frekuensi jantung dikontrol selama 6 detik.    
d)     Penilaian :
1)    Bila frekuensi denyut jantung < 80 x / menit:
                                                                                                                            i.       Lanjutkan penekanan dada
                                                                                                                          ii.       Lanjutkan ventilasi dengan O2 100%  
                                                                                                                        iii.      Lanjutkan pengontrolan jantung secara periodik
                                                                                                                        iv.       Berikan obat-obatan
2)    Bila frekuensi denyut jantung ≥ 80x / menit:
                                                                                                              i.      Hentikan kompresi dada
                                                                                                            ii.      Lanjutkan tindakan ventilasi sampai denyut jantung > 100x/menit dan bayi bernapas spontan
                                                                                                          iii.      Bila perlu pasang sonde lambung melalui mulut untuk mengurangi tekanan udara dalam lambung

b.      Intubasi Endotrakeal
Indikasi :
1.      Bila diperlukan VTP agak lama
2.      Bila ventilasi dengan balon dan sungkup tidak efektif
3.      Bila perlu melakukan penghisapan lendir di trakea
4.      Bila ada kecurigaan hernia diafragmatika
Cara:
1.      Penolong berdiri di sisi atas kepala bayi sambil memegang laringoskop dengan tangan kiri
2.      Masukkan daun laringoskop dengan menyusurkan daun laringoskop melalui lidah ke valekulum.
3.      Setelah daun laringoskop masuk, angkat daun laringoskop sedikit sehingga lidah akan terjulur dan farings terlihat
4.      Segera setelah pita suara dan trakea terlihat masukkan pipa endotrakeal, dengan memegang pipa tersebut dengan tangan kanan dan memasukkannya dari sebelah kanan mulut bayi
5.      Bila pita suara membuka masukkan pipa sampai tanda pita suara di pipa, sehinggga pipa akan terletak dalam trakea di tengah antara pita suara dan karina.
6.      Keluarkan laringoskop, periksa letak pipa untuk meyakinkan pipa masuk ke trakea

c.       Obat-obatan dan cairan:
1.      Epinefrin, indikasi:
a.       Frekwensi denyut jantung tetap < 80x / menit walaupun telah dilakukan paling sedikit 30 detik ventilasi adekuat dengan O2 100% dan kompresi dada
b.      Frekwensi denyut jantung nol à segera berikan epinefrin dan pada ssat yang sam berikan VTP dan kompresi dada. Dosis : 0,1 – 0,3 ml / KgBB cairan 1;10.000 IV atau melalui pipa endotrakeal, berikan dengan cepat.
c.       Frekwensi denyut jantung harus naik sampai 100 x / menit atau lebih dalam 30 detik setelah diberikan.
d.      Bila frekwensi denyut jantung tetap < 100x/ menit:
1.      Epinefrin diulangi setiap 3 – 5 menit
2.      Volume Expander à bila kehilangan darah akut atau ada tanda-tanda hipovolemia
3.      Bikarbonat natrikus untuk apnu yang lama yang tidak ada respons terapi terhadap terapi lain.
2.      Volume Expander
a.       Digunakan untuk menanggulangi efek hipovolemia dengan meningkatkan volume vaskuler dan hemodinamika perfusi jaringan, juga bila terdapat kejadian akan diduga adanya kehilangan darah akut dengan tanda-tanda hipovolemia:
1)      Pucat yang menetap setelah oksigenase
2)      Nadi yang lemah dengan fungsi jantung yang baik
3)      Respons yang buruk terhadap usaha resusitasi
4)      Penurunan tekanan darah
b.      Jenis cairan :
1)      Darah segar (whole blood)
2)      Cairan albumin – saline 55 / plasma expander
3)      Larutan garam fisiologis
4)      Cairan Ringer Laktat
c.       Dosis : 10 ml/KgBB IV selama 5 – 10 menit
d.      Efek : meningkatkan volume vaskuler dan menurunkan asidosis metabolik. Tekanan darah akan meningkat, nadi menjadi kuat dan pucat menghilang. Dapat diulang bila tanda-tanda hipovolemia menetap.
e.       Bila perbaikan sedikit atau tidak ada :
1)      Pertimbangkan adanya asidosis metabolik dan perlu diberikan bikarbonat natrikus
2)      Perlu penggunaan dopamin, bila penurunan tekanan darah menetap
3.   Bikarbonat Natrikus
a.       Digunakan bila terdapat apnu yang lama yang tidak memberikan respons terhadap terapi lain
b.      Dosis : 2 meq / KgBB IV, berikan perlahan-lahan paling sedikit dalam waktu 2 menit
4.   Nalokson Hidroklorid
a.       Indikasi pada depresi pernapasan yang berat
b.      Riwayat pemberian narkotika pada ibu dalam 4 jam sebelum persalinan
c.       Dosis : 0,1 mg / KgBB, IV atau endotrakeal. Pemberian cepat. Pantau pernapasan dan frekwensi denyut jantung dengan ketat. Pemberian ulang bila depresi pernapasan timbul kembali.






Tidak
Oval: Tidak
Ya
Oval: Ya  SHAPE  \* MERGEFORMAT
Penilaian :
Bayi tidak menangis, tidak bernapas atau megap-megap, sambil melakukan hal berikut :
  1. Letakkan bayi diatas perut ibu atau dekat perineum
  2. Selimuti bayi
  3. Pindahkan bayi ke tempat resusitasi
Langkah Resusitasi
Langkah awal ( dilakukan dalam 30 detik ) :
  1. Jaga bayi tetap hangat
  2. Atur posisi bayi
  3. Isap lendir
  4. Keringkan dan rangsang taktil
  5. Reposisi
  6. Penilaian apakah bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur?
Bagan 1
Penilaian dan langkah-Langkah Resusitasi Bayi Baru Lahir
 
Ventilasi
  1. Pasang sungkup, perhatikan lekatan
  2. Ventilasi 2 kali dengan tekanan 30 cm air, amati gerakan dada bayi
  3. Bila dada bayi mengembang, lakukan ventilasi 20 kali dengan tekanan 20 cm air dalam 30 detik
  4. Penilaian apakah bayi menangis atau bernapas spontn dan teratur?
 
Sumber : JNPK-KR/POGI, 2007 ; 114
 
Konseling dukungan emosional dan pencatatan bayi meninggal
 
 SHAPE  \* MERGEFORMAT
Ya
Tidak
Lanjutkan ventilasi, evaluasi tiap 30 detik
Perhatikan apakah bayi menangis/bernapas spontan dan teratur ?

Ya
Tidak
Setelah ventilasi selama 2 menit tidak berhasil, siapkan rujukan
Asuhan Bayi Pascaresusitasi
  1. Jaga bayi agar tetap hangat
  2. Lakukan pemantauan
  3. Konseling
  4. Pencatatan
Bila bayi tidak bisa dirujuk dan tidak bisa bernapas spontan setelah 20 menit, pertimbangkan untuk menghentikan resusitasi

- Letakkan bayi di bawah pemancar panas
(bersihkan trakea dengan penghisap lendir apabila terdapat mekonium)
- Keringkan seluruh tubuh
- Ganti linen basah dengan yang kering
- Atur posisi bayi
- Bersihkan mulut kemudian hidung bayi  
  dengan alat penghisap
- Lakukan rangsangan taktil (bila perlu)
Evaluasi pernapasan
Tidak bernapas
 atau gasping
Bernapas spontan
Evaluasi denyut jantung
Evaluasi denyut jantung
VTP dengan oksigen murni 100%, 15 – 30 detik
< 100 / menit
Bagan 2
Bagan Resusitasi pada kasus asfiksia
 
 

 

 

 

 


< 60 / menit
60-100 / menit
> 100 / menit
Evaluasi warna kulit
- Ventilasi
  diterusakan
- Kompresi 
  dada
- Diamati terus sampai
  pernapasan spontan
- Kemudian ventilasi
  dihentikan
Biru
Pucat kemerahan atau sianosis perifer
Denyut jantung tetap
Denyut jantung bertambah
- Ventilasi diteruskan
- Kompresi dada bila
  denyut < 80 / menit
Ventilasi diteruskan
Observasi dan pantau
Beri oksigen
- Mulai pemberian obat bila denyut
   < 80 / menit setelah 30 detik
- Diberi VTP dengan oksigen 100%
  dan kompresi dada








 

 







 




Sumber : Manuaba, 2008;195
 
Bagan 3
Bagan Pemberian obat pada kasus asfiksia
 
- Frekuensi jantung 0, atau
- Frekuensi jantung <80/menit
  setelah VTP dan kompresi
  dada 30 menit
 
 SHAPE  \* MERGEFORMAT
Berikan Epinefrin
Boleh diulang setiap 3 – 5 menit bila perlu
Frekuensi jantung >100/menit
Hentikan pemakaian obat
Apnea lama yang tidak menunjukan respon terhadap terapi lain
Terjadi / diduga terdapat kehilangan darah dengan tanda hipovolemia
Berikan natrium bikarbonat
Berikan volume expander
Depresi berlanjut
- Pertimbangkan penyebab lain : Pneumotoraks, Hernia
  diafragmatika, Persisten pulmonatory hypertension
- Pertimbangkan pemberian dopamin
- Konsultasi
Depresi pernapasan dan riwayat pemberian narkotika pada ibu 4 jam sebelumnya
Berikan nalokson hidroklorid
Sumber : Manuaba, 2008;196

2.2 Konsep Dasar Asuhan Kebidanan pada Neonatus

 2.2.1 Definisi
               Asuhan kebidanan adalah penerapan fungsi dan kegiatan yang menjadi tanggung jawab dalam memberikan pelayanan pada klien yang mempunyai kebutuhan atau masalah dalam bidang kesehatan ibu masa hamil, persalinan, nifas, bayi setelah lahir serta keluarga berencana. (Siahaan, 2006;126)
Manajemen Kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai metode untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan teori ilmiah, penemuan-penemuan keterampilan dalam rangkaian atau tahapan yang logis untuk pengambilan suatu keputusan yang berfokus pada klien (Varney, 2003;30).
Manajemen kebidanan terdiri dari beberapa langkah yang berurutan, yang dimulai dari pengumpulan data dasar dan berakhir dengan evaluasi. Langkah - langkah tersebut membentuk kerangka yang lengkap yang bisa diaplikasikan dalam semua situasi. Akan tetapi setiap langkah tersebut bisa dipecah - pecah ke dalam tugas-tugas tertentu dan semuanya tergantung dengan kondisi klien (Salma, 2006;155)


Proses manajemen kebidanan menurut H. Varney (Salma, 2006;155) terdiri dari langkah – langkah berikut :
1.      Mengumpulkan semua data yang dibutuhkan untuk menilai keadaan klien secara keseluruhan.
2.      Menginterpretasikan data untuk mengidentifikasi diagnosis / masalah.
3.      Mengidentifikasi diagnosis / masalah potensial dan mangantisipasi penanganannya.
4.      Menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera, konsultasi, kolaborasi, dengan tenaga kesehatan lain serta rujukan berdasarkan kondisi klien.
5.      Menyusun rencana asuhan secara menyeluruh dengan mengulang kembali manajemen proses untuk aspek – aspek sosial yang tidak efektif.
6.      Pelaksanaan langsung asuhan secara efisien dan aman.
7.      Mengevaluasi keefektifan asuhan yang diberikan dengan mengulang kembali manajemen proses untuk aspek – aspek asuhan yang tidak efektif.



 2.2.2   7 Langkah Manajemen Asuhan Kebidanan menurut H. Varney
      I.    Langkah I (Tahap Pengumpulan Data Dasar)
pada langkah pertama ini di kumpulkan semua informasi yang akurat dan lengkap dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi lain.
Untuk memperoleh data di lakukan dengan cara:
a.       Anamnesis
1)      Biodata
2)      Riwayat menstruasi
3)      Riwayat kesehatan
4)      Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas
5)      Biopsikososiospritual
6)      Pengetahuan klien
b.      Pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhan dan pemeriksaan vital
c.       Pemeriksaan vital
1)      Inspeksi
2)      Palpasi
3)      Auskultasi
4)      Perkusi

d.      Pemeriksaan penunjang
1)      Laboratorium
2)      Catatan terbaru dan sebelumya (Salmah,2006;157)

II. Langkah II (Interpretasi Data Dasar)
Pada langkah ini dilakukan identifikasi terhadap diagnosis atau masalah berdasarkan interpretasi yang benar atas data - data yang dikumpulkan. Data yang sudah dikumpulkan di interpretasikan sehingga dapat merumuskan diagnosis dan masalah yang spesifik. Masalah sering berkaitan dengan hal - hal yang sedang dialami wanita yang di identifikasikan oleh bidan sesuai dengan hasil pengkajian. Masalah juga sering menyertai diagnosis(Salmah,2006;158)  

III. Langkah III (Identifikasi Diagnosis atau Masalah Potensial)
Langkah III merupakan langkah ketika bidan melakukan identifikasi diagnosis atau masalah potensial dan mengantisipasi penangananya. Pada langkah ini kita mengidentifikasi masalah potensial atau diagnosis potensial berdasarkan diagnosis / masalah yang sudah di identifikasi, dan juga membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan di lakukan pencegahan, bidan diharapkan waspada dan bersiap - siap mencegah diagnosis / masalah potensial ini menjadi benar - benar terjadi.langkah ini penting sekali dalam melakukan asuhan yang aman (Salmah,2006;160)
Pada langkah ke III ini bidan dituntut untuk mampu mengantisipasi masalah potensial tidak hanya merumuskam masalah potensial yang akan terjadi tetapi juga merumuskan tindakan antisipasi agar masalah tidak terjadi sehingga langkah ini benar merupakan langkah yang bersifat antisipasi yang rasional (Salmah,2006;161)

IV. Langkah IV (Penetapan Kebutuhan Tindakan Segera)
Pada langkah ini bidan menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera, melakukan konsultasi, kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain berdasarkan kondisi klien. Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter dan untuk di konsultasikan atau di tangani bersama dengan anggota tim kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien (Salmah,2006;161)
Langkah ke iv mencerminkan kesenambungan dari proses manajemen kebidanan. Jadi manajemen bukan hanya selama asuhan primer periodik atau kunjungan perinatal saja, tetapi juga selama wanita tersebut bersama bidan terus-menerus, misalnya pada wanita dalam persalinan (Salmah,2006;161)
Dari langkah ini menunjukkan bahwa bahwa bidan dalam melakukan tindakan harus sesuai dengan prioritas masalah atau kebutuhan yang dihadapi kliennya (Salmah,2006;161)

V. Langkah V (Penyusunan Rencana Asuhan Menyeluruh)
 Langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh yang ditentukan berdasarkan langkah - langkah sebelumnya. Langkah merupakan kelanjutan manajemen terhadap masalah atau diagnosis yang telan diidentifikasi atau di antisipasi. Langkah ini juga informasi data yang tidak lengkap dapat dilengkapi (Salmah,2006;162)  
Rencana asuhan yang menyeluruh tidak hanya meliputi apa yang sudah teridentifikasi dari kondisi klien atau dari setiap masalah yang berkaitan tetapi juga dari kerangka pedoman antisipasi terhadap wanita tersebut.semua keputusan yang di kembangkan dalam asuhan menyeluruh ini harus rasional dan benar-benar valid berdasarkan pengetahuan dan teori yang baru serta sesuai dengan asumsi tentang apa yang dilakukan klien (Salmah,2006;162)
Pada langkah ini tugas bidan adalah merumuskan rencana asuhan sesuai dengan hasil pmbahasan rencana asuhan bersama klien kamudian membuat kesepakatan bersama sebelum melaksanakannya (Salmah,2006;163)  

VI. Langkah VI (Pelaksanaan Asuhan)
Langkah ini dilakukan pelaksananan asuhan langsung secara efisien dan aman, perencanaan ini bisa dilakukan seluruhnya oleh bidan atau sebagian lagi oleh klien, walau bidan tidak melakukannya sendiribidan tetap memikul tanggung jawab untuk melaksanakannya (Salmah,2006;163)
Meskipun bidan berkolaborasi dengan dokter untuk menangani klien yang mengalami komplikasi, bidan tetap bertanggung jawab dalam manajemen asuhan klien untuk terlaksananya rencana asuhan bersama. Manajemen yang efesien akan menyangkut waktu dan biaya serta meningkatkan mutu dan asuhan klien (Salmah,2006;163)

VII. Langkah VII (Mengevaluasi)
Pada langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan asuhan yang sudah diberikan. Hal yang di evaluasi meliputi apakah kebutuhan telah terpenuhi dan mengatasi diagnosis dan masalah yang telah di identifikasi.rencana tersebut dapat di anggap efektif jika benar efektif dalam pelaksanaannya (Salmah,2006;163)
Langkah-langkah proses manajemen umumnya merupakan pengkajian dan memperjelas proses pemikiran yang mempengaruhi tindakan serta berorientasi pada proses klinis. Karena proses manajemen tersebut berlangsung di dalam situasi klinis dan dua langkah terakhir bergantung pada klien dan situasi klinis, maka tidak mungkin proses manajemen ini di evaluasi dalam tulisan saja (Salmah,2006;164)

2.2.3 Langkah Pendokumentasian Asuhan Kebidanan
Menurut H. Varney, alur berpikir bidan saat menghadapi klien meliputi 7 langkah. Untuk mengetahui apa yang telah dilakukan oleh seorang bidan melalui proses berpikir sistematis, didokumentasikan dalam bentuk SOAP, yaitu:
S    : Subjektif (Langkah I Varney)
Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data  klien melalui anamnesis (Salmah, 2006;172)

O   : Objektif (Langkah I Varney)
Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik klien, hasil laboratorium dan uju diagnostik lain yang dirumuskan dalam data fokus untuk mendukung asuhan (Salmah, 2006;172)

A   : Assesment (Langkah II, III, IV Varney )
Menggambarkan pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi dan subjektif dan objektif dalam suatu identifkasi;
a.       Diagnosis / masalah
b.      Antisipasi diagnosis / masalah potensial
c.       Perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter, konsultasi / kolaborasi atau rujukan (Salmah, 2006;172)

P    : Planning (Langkah V, VI, VII Varney)
Menggambarkan pendokumentasian dan tindakan atau evaluasi berencana (Salmah, 2006;172)




2.3    Konsep Dasar Teori Asuhan Kebidanan pada Neonatus dengan Asfiksia Neonatorum
         2.3.1 Pengumpulan Data Dasar
 A. Data Subjektif
            1. Biodata
 -       Biodata Bayi
Nama bayi, umur,  jenis kelamin, berat badan dan panjang badan, waktu kelahiran (tempat, tanggal dan jam), dan nomor register untuk mengetahui identitas bayi dan sebagai informasi rekam medis dalam pencatatan dan pelapora (Siahaan,dkk, 2006;191).
 -       Biodata Orang Tua
Nama untuk diketahui dan umur ibu untuk menentukan apakah ibu termasuk resiko tinggi atau tidak, yaitu usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dan mengetahui status suami klien tersebut untuk mengetahui keadaan sosial ekonominya dan ini sangat mempengaruhi keadaan ibu. Suku / bangsa untuk mengetahui adat dan kebiasaan ibu. Alamat untuk mengetahui lingkungan tempat tinggal ibu, tanggal masuk rumah sakit dan nomor medical record (H. Varney, 2004;12).
2.      Anamnesis
a.       Riwayat Kehamilan
            Anak yang dilahirkan anak keberapa untuk mengetahui faktor resiko apakah terlalu banyak anak atau tidak dan melihat jarak antara anak sebelumnya dengan kehamilan sekarang terlalu dekat atau tidak.   
b.      Pemeriksaan Kehamilan
            Kehamilan yang keberapa, pernah abortus atau tidak, haid pertama haid terakhir untuk mengetahui umur kehamilan dan tafsiran persalinan untuk mengetahui kapan ibu melahirkan, pemberian imunisasi TT untuk pencegahan terjadinya tetanus pada ibu dan tetanus neonatorum pada bayi, pemberian tablet FE untuk mencegah terjadinya anemia pada ibu, dan keluhan untuk mengetahui keluhan ibu saat hamil supaya dapat dilakukan penanganan segera.



c.       Riwayat Penyulit Kehamilan
            Apakah ibu ada penyakit yang dapat mempersulit kehamilan, ada riwayat perdarahan atau tidak pada persalinan, dan penyakit yang saat kehamilan seperti pre – eklamsia dan eklampsia.
d.      Kebiasaan Ibu Waktu Hamil
            Kebiasaan ibu waktu hamil seperti konsumsi makanan, obat – obatan, dan merokok, dan lain – lain.
e.       Riwayat Persalinan Sekarang
            Kelahiran tunggal atau ganda, jenis persalinan apakah spontan atau dengan tindakan, ditolong oleh siapa apakah ditolong dokter, bidan, atau dukun, lama persalinan, keadaan ketuban, plasenta dan adakah komplikasi baik pada ibu maupun bayi. 
     





B. Data Objektif
      1.   Pemeriksaan Khusus
            Pada penilaian khusus, terdapat penilaian Skor Apgar
Tabel 2.1
APGAR Score
Komponen
Skor
0
1
2
Jumlah
Frekuensi jantung
Tidak ada
< 100 x / menit
> 100 x / menit

Kemampuan bernapas
Tidak ada
Lambat / tidak teratur
Menangis kuat

Tonus otot
Lumpuh
Ekstremitas agak fleksi
Gerakan aktif

Refleks
Tidak ada
Gerakan sedikit
Gerakan kuat / melawan

Warna kulit
Biru/ pucat
Tubuh kemerahan / Ekstrimitas biru
Seluruh tubuh kemerahan

( Sumber : Asuhan Neonatus, Bayi dan balita, 2008;18)


Tentukan hasil penilaian ke dalam tiga kategori asfiksia, yaitu ;
a.       Adaptasi baik                          : skor 7–10
b.      Asfiksia ringan – sedang         : skor 4–6
c.       Asfiksia berat                          : skor 0–3
      (Hidayat, 2008;18)
2.   Pemeriksaan Umum
                  Pemeriksaan umum pada bayi terdiri dari keadaan umum, kesadaran, nadi, suhu, dan pernafasan untuk dapat diketahui seluruh keadaan bayi dan sebagai penunjang Skor Apgar (Bobak, 2008;385).
3.      Resusitasi
            Pada bayi dengan asfiksia neonatorum, diperlukan persiapan resusitasi dengan langkah penghisapan lendir, rangsangan taktil, ventilasi menggunakan balon resusitasi dan sungkup, kompresi dada, intubasi endotrakeal, oksigen, dan terapi obat – obatan (Hidayat, 2008;67-72).
4.   Pemeriksaan Fisik Secara Sistematis
a.       Penilaian Skor Apgar
            Penentuan Skor Apgar dikategorikan dalam tiga kategori asfiksia, yaitu adaptasi baik (skor 7-10), asfiksia ringan – sedang (skor 4-6), dan asfiksia berat (skor 0-3) (Hidayat, 2008;18).   
b.      Pemeriksaan cairan amnion
            Pengkajian jumlah cairan amnion dengan kategori polihidramnion / hidramnion (>2000 ml) dan oligohidramnion (<500 ml) (Hidayat, 2008;19).
c.       Pemeriksaan plasenta
            Pengkajian keadaan plasenta seperti adanya pengapuran, nekrosis, berat, dan jumlah korion (Hidayat, 2008;19).
d.      Pemeriksaan tali pusat
            Pemeriksaan keadaan tali pusat, seperti adanya vena atau arteri, adanya tali simpul atau kelainan lainnya (Hidayat, 2008;19).
e.       Pengukuran antropometri
-          Penimbangan berat badan dengan kategori, yaitu normal (2500-3500 gram), prematur  (2500 gram), dan makrosomia (>3500 gram) (Hidayat, 2008;19)
-          Pengukuran panjang badan dengan kategori normal 45-50 cm (Hidayat, 2008;19).
-          Pemeriksaan lingkar kepala dan dada, jika diameter kepala  lebih besar 3 cm dari dada maka bayi mengalami hidrosefalus dan jika diameter dada lebih besar dari kepala maka bayi mengalami mikrosefalus (Hidayat, 2008;19-20).
Lingkar kepala kategori normal 32 – 36,8 cm dan lingkar dada normal 30 – 33 cm (Bobak, 2005;387).
f.       Pemeriksaan mata
                                   Kaji adanya strabismus (koordinasi gerakan mata yang belum sempurna), kebutaan, tanda sindrom Down, katarak kongenital, dan trauma pada mata (Hidayat, 2008;20-21).
g.      Pemeriksaan telinga
            Kaji adanya gangguan pendengaran dengan membunyikan bel atau suara dan posisi hubungan mata dan telinga (Hidayat, 2008; 21).
h.      Pemeriksaan hidung dan mulut
            Kaji pola pernapasan, jika bayi bernapas melalui mulut kemungkinan bayi mengalami obstruksi, kaji napas cuping hidung, kaji adanya kista di mukosa mulut dan gusi kaji lidah untuk menilai warna , kemampuan refleks menghisap, kaji bercak di mukosa mulut, dan kecacatan kongenital (Hidayat, 2008;21).
i.        Pemeriksaan leher
            Kaji adanya pembengkakan dan benjolan dan pergerakan leher untuk melihat kelainan di tulang leher (Hidayat, 2008;21).
j.        Pemeriksaan dada dan punggung
            Kaji adanya kelainan bentuk, simetris atau tidak, fraktur klavikula, kaji frekuensi dan suara jantung, dan kaji bunyi pernapasan  (Hidayat, 2008;22).
k.      Pemeriksaan abdomen
            Kaji bentuk abdomen dan kaji adanya kembung dengan perkusi (Hidayat, 2008;22).
l.        Pemeriksaan tulang belakang dan ekstremitas
            Kaji adanya kelainan tulang belakang, dan kaji adaya kelemahan dan kelumpuhan (Hidayat, 2008;22).
m.    Pemeriksaan genitalia
            Kaji keadaan labia minora yang tertutup labia mayora, lubang urethra dan vagina terpisah pada bayi perempuan dan kaji adanya fimosis, hipospadia dan epispadia(Hidayat, 2008;22-23).
n.      Pemeriksaan anus dan rektum
            Kaji adanya kelainan atresia ani dan kaji adanya mekonium dalam rentang 24 jam (Hidayat, 2008;23).
o.      Pemeriksaan kulit
            Kaji adanya verniks kesosa dan lanugo (Hidayat, 2008;23).
p.      Pemeriksaan refleks menurut Hidayat(2008;25) :
-          Berkedip, pemeriksaan dengan cara sorotkan cahaya ke mata bayi.
-          Tanda babinski, pemeriksaan dengan cara gores telapak kaki sepanjang tepi luar, mulai dari tumit.
-          Merangkak, pemeriksaan dengan cara letakkan bayi tengkurap di atas permukaan yang datar.
-          Menari / melangkah, pemeriksaan dengan cara pegang bayi sehingga kakinya sedikit meyentuh permukaan yang keras.
-          Ekstruksi, pemeriksaan dengan cara sentuh lidah dengan ujung spatel lidah.
-          Galant, pemeriksaan dengan cara gores punggung bayi sepanjang sisi tulang belakang dari bahu sampai bokong.
-          Moro, pemeriksaan dengan cara ubah posisi dengan tiba – tiba atau pukul meja / tempat tidur.
-          Neck righting, pemeriksaan dengan cara letakkan bayi dalam posisi telentang, coba menarik perhatian bayi dari satu sisi.
-          Menggenggam, pemeriksaan dengan cara letakkan jari di telapak tangan bayi dari sisi ulnar, jika refleks lemah atau tidak ada, beri bayi botol atau dot karena menghisap akan menstimulasi refleks.
-          Rooting, pemeriksaan dengan cara gores sudut mulut bayi melewati garis tengah bibir.
-          Kaget (startle), pemeriksaan dengan cara bertepuk tangan dengan keras.
-          Menghisap, pemeriksaan dengan cara beri bayi botol dan dot.
-          Tonic neck, pemeriksaan dengan cara menolehkan kepala bayi dengan cepat ke satu sisi.

2.3.2 Interpretasi Data Dasar
A.    Diagnosis
Diagnosa yang ditegakkan adalah ;
1.      Umur ibu untuk mengetahui apakah ibu merupakan faktor resiko atau tidak.
2.      Riwayat kehamilan untuk mengetahui anak yang dilahirkan anak keberapa dan jarak antara anak yang dilahirkan dengan anak yang terdahulu.
3.      HPHT untuk mengetahui usia bayi apakah bayi telah cukup bulan atau tidak.
4.      Riwayat penyulit kehamilan seperti perdarahan, pre-eklamsia, eklampsia, dan riwayat obstertrik.
5.      Kebiasaan ibu ketika hamil seperti merokok, makanan, minuman dan obat-obatan yang dapat mempengaruhi kehamilan dan keadaan bayi sehingga bayi mengalami hipoksia janin.
6.      Riwayat persalinan, apakah kehamilan tunggal atau ganda.
7.      Menilai skor Apgar apakah bayi mengalami asfiksia ringan-sedang atau asfiksia berat.
8.      Pemeriksaan keadaan umum bayi yaitu nadi, suhu, pernapasan dan kesadaran untuk menilai keadaan bayi secara umum dan menyeluruh.
9.      Pemeriksaan antropometri seperti berat badan, panjang badan, lingkar kepala dan dada untuk mengetahui apakah terdapat faktor yang dapat menyebabkan bayi mengalami asfiksia.
10.  Pemeriksaan fisik bayi secara menyeluruh apakah terdapat kelainan atau kecacatan kongenital.

B.     Masalah
Permasalahan yang sering timbul pada bayi asfiksia adalah :
-          Depresi
-          Gagal bernapas secara spontan
-          Hipotonia ke hipertonia ekstrim, atau tonusnya dapat tampak normal
-          Pucat
-          Sianosis
-          Apnea
-          Frekuensi jantung lambat
-          Tidak memberikan respons terhadap rangsangan
-          Kejang yang mungkin berat (Nelson, 2000;582-583).

C.    Kebutuhan
            Kebutuhan pasien berdasarkan masalah yang timbul dengan diagnosa asfiksia neonatorum maka untuk mengatasi hal tersebut pasien membutuhkan perawatan dan penanganan yang baik.
            Adapun kebutuhan bayi dengan asfiksia adalah :
1.      Segera setelah lahir, diusahakan agar bayi mendapat pemanasan yang baik. Harus dicegah atau dikurangi kehilangan panas dari tubuhnya (Winkjosastro, 2007;712).
2.      Penghisapan saluran pernapasan bagian atas segera dilakukan (Winkjosastro, 2007;712).
3.      Rangsangan nyeri dengan cara memukul kedua telapak kaki (Winkjosastro, 2007;712).
4.      Lakukan resusitasi (Mochtar, 1999;429).
5.      Pemberian suntikan vitamin K (Winkjosastro, 2007;712).
6.      Berikan transfusi darah via tali pusat atau pemberian glukosa (Mochtar, 1999;429).
7.      Perawatan gabung (Winkjosastro, 2007;752).
2.3.3 Identifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial
               Dalam hal ini mengkaji dan mengidentifikasi masalah potensial harus berdasarkan diagnosa dan masalah yang sudah diidentifikasi pada bayi dengan asfiksia neonatorum, yaitu :
1. Potensial terjadi edema otak (Nelson, 2000;583).
2. Potensial terjadi depresi batang otak yang berat (Nelson,  2000;583).
3. Potensial terjadi kejang yang mungkin berat (Nelson, 2000;583).
4. Potensial terjadi hipokalsemia dan hipoglikemia (Nelson, 2000;583).
5. Potensial terjadi fungsi sistem syaraf pusat (Nelson, 2000;583).
6. Potensial terjadi gagal jantung kongestif (Nelson, 2000;583).
7. Potensial terjadi syok kardiogenik (Nelson, 2000;583).
8. Potensial terjadi hipertensi pulmonal metetap (sirkulasi janin persisten) (Nelson, 2000;583).
9. Potensial terjadi sindrom kegawatan napas (Nelson, 2000;583).
10.  Potensial terjadi perforasi saluran pencernaan (Nelson, 2000;583).
11.  Potensial terjadi hematuria dan nekrosis tubular akut (Nelson, 2000;583).
12.  Potensial terjadi perdarahan otak (Mochtar, 1999;429).
13.  Potensial terjadi cacat mental seperti epilepsi dan  bodoh pada masa mendatang (Mochtar, 1999;429).

2.3.4 Tindakan Segera
               Pada  bayi asfiksia jangan dibiarkan bayi kedinginan ( balut dengan kain ), bersihkan mulut dan jalan nafas. Lakukan resusitasi (respirasi artifisialis) dengan alat yang dimasukkan kedalam mulut untuk mengalirkan O2 dengan tekanan 12 mmHg. Dapat juga dilakukan mouth to mouth respiration , heart massage (masase jantung), atau menekan dan melepaskan dada bayi. Pemberian O2 harus hati – hati, terutama pada bayi prematur. Bisa menyebabkan lenticular fibrosis oleh pemberian O2 dalam konsentrasi lebih dari 35% dan lebih dari 24 jam, sehingga bayi menjadi buta. Kalau ada dugaan perdarahan otak berikan injeksi vitamin K 0,5 - 1 mg dan berikan transfusi darah via tali pusat atau pemberian glukosa  (Mochtar, 1999;429).




2.3.5 Merencanakan Asuhan yang Menyeluruh
          Perencanaan yang menyeluruh berkaitan dengan asfiksia neonatorum :
1.      Observasi skor Apgar untuk mengetahui perkembangan frekuensi denyut jantung, pernapasan, tonus otot, rangsangan, dan warna kulit.
2.      Observasi keadaan umum dan tanda vital bayi seperti pernapasan, nadi, dan suhu tubuh.
3.      Memberikan penjelasan kepada ibu tentang kondisi bayi bahwa bayi sedang mengalami asfiksia neonatorum dan kemungkinan akan dilakukan tindakan resusitasi.
4.      Melakukan pencegahan atau pengurangan kehilangan panas dari tubuhnya (Winkjosastro, 2007;712).
5.      Melakukan penghisapan saluran pernapasan bagian atas segera dilakukan, bersihkan mulut dan mempertahankan jalan nafas (Mochtar, 1999;429).
6.      Melakukan tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahap – tahap yang dikenal sebagai ABC resusitasi (Saifuddin, 2005;350).
7.      Melakukan pemberian suntikan vitamin K untuk mencegah terjadinya perdarahan otak (Winkjosastro, 2007;712).
8.      Memberikan transfusi darah via tali pusat atau pemberian glukosa (Mochtar, 1999;429).
9.      Meganjurkan kepada ibu pemberian ASI Ekslusif segera setelah keadaan bayi telah normal.

2.3.6 Melaksanakan Perencanaan Asuhan yang Menyeluruh
1.      Mengobservasi skor Apgar untuk mengetahui perkembangan frekuensi denyut jantung, pernapasan, tonus otot, rangsangan, dan warna kulit.
2.      Mengobservasi keadaan umum dan tanda vital bayi seperti pernapasan, nadi, dan suhu tubuh.
3.      Memberikan penjelasan kepada ibu tentang kondisi bayi bahwa bayi sedang mengalami asfiksia neonatorum dan kemungkinan akan dilakukan tindakan resusitasi dan memberi dorongan positif kepada ibu.
4.      Melakukan pencegahan atau pengurangan kehilangan panas dari tubuhnya.
5.      Melakukan penghisapan saluran pernapasan bagian atas segera dilakukan, bersihkan mulut dan mempertahankan jalan nafas.
6.      Melakukan tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahap – tahap yang dikenal sebagai ABC resusitasi.
7.      Melakukan pemberian suntikan vitamin K untuk mencegah terjadinya perdarahan otak.
8.      Memberikan transfusi darah via tali pusat atau pemberian glukosa.
9.      Melakukan perawatan gabung.
10.  Meganjurkan pemberian ASI Ekslusif segera setelah keadaan bayi telah normal.

2.3.7 Evaluasi
Mengevaluasi keefektifan asuhan yang sudah diberikan. Hal yang di evaluasi meliputi apakah kebutuhan telah terpenuhi dan mengatasi diagnosis dan masalah yang telah di identifikasi.rencana tersebut dapat di anggap efektif jika benar efektif dalam pelaksanaannya (Salmah,2006;163).

2.4 Penelitian Sebelumnya
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir (Winkjosastro, 2007;709).
         Menurut penelitian Dr. Umar Faiz Bagazi, SPOG dan Dr. Sulchan  Sofoewa, SPOG dari Obstetri dan Ginekologi RS Sarjito, bahwa dari seratus kasus persalinan presentasi bokong yang dibagi menjadi 2 kelompok dan masing-masing 50 kasus persalinan secara Bracht dan 50 kasus secara manual aid. Kejadian asfiksia menit pertama yang lahir secara Bracht 72%, sedangkan pada manual aid 62%. Kejadian asfiksia menit ke lima yang lahir secara Bracht 7%, sedangkan pada manual aid 4% (Bagazi, Umar Faiz, Sofoewa, 2002;1).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar